Era globalisasi menjadikan manusia tidak bisa
lepas dari media massa. Dewasa ini,
kebutuhan manusia tidak lagi sebatas sandang, pangan, dan papan, namun juga
informasi tentang kehidupan. Manusia yang menutup mata terhadap persoalan
sekitar akan terkukung dalam kebodohan karena ketidaktahuan. Media massa,
sebagai pilar keempat demokrasi yang telah diatur tugas dan fungsinya dalam UU
No.40 tahun 1999 yakni to inform, to educate, to entertaint, dan to
control social , menjadi harapan masyarakat sebagai sumber informasi,
pemenuh hak asasi setiap umat, yakni mendapatkan informasi. Betapa pentingnya
media massa dalam kehidupan umat manusia saat ini, hendaknya menjadikan pelaku
media massa lebih arif dan bijaksana memegang amanah umat manusia.
Runtuhnya
orde baru di Indonesia membawa angin segara bagi media massa. Media massa atau
pers memperoleh kebebasan setelah terkekang dengan berbagai aturan pada masa
sebelumnya. Menurut Wikipedia, kebebasan pers adalah hak yang diberikan oleh
konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan
bahan-bahan yang dipublikasikan serta menyebar luaskan, percetakan dan
penerbitan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya
campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah.[1]
Pendapat lain menyebutkan bahwa kebebasan pers adalah kebebasan mengemukakan
pendapat, baik secara tulisan maupun lisan, melalui media pers, seperti harian,
majalah, dan bulletin. Kebebasan pers dituntut tanggung jawabnya untuk menegkkan
keadilan, ketertiban, dan keamanan dalam masyarakat, bukan untuk merusaknya.
Namun
demikian, kebebasan pers di Indonesia tidaklah benar-benar bebas. Ada
batasan-batasan yang harus diperhatikan, yang terangkum dalam kode etik
jurnalistik. Kode etik jurnalistik diciptakan agar kebebasan pers tidak
kebablasan. Salah satu aturan yang tersebut dalam kode etik jurnalistik
berbunyi “wartawan Indonesia harus bersikap independen dalam menghasilkan
berita”.
Menurut
Eriyanto dalam bukunya Analisis Framing, tidak ada media yang benar-benar independen. tidak ada kebenaran yang
benar-benar absolut. Meskipun kode etik jurnalistik mengatur tentang
independensi wartawan ataupun lembaga pers, namun faktanya, suatu berita telah
tercampuri subjektifitas wartawan. Wartawan melakukan framing terhadap suatu
kejadian. Sehingga menjadi wajar ketika satu peristiwa dapat diberitakan
berbeda-beda oleh media massa.
Hal
ini menjadi menarik ketika kita membicarakan bagaimana Islam dalam bingkai
media massa, khususnya media barat. Kecurigaan antara Islam dan media barat
sudah bukan menjadi rahasia lagi. Islam mencurigai media sebagai alat menghancurkan
image islam, demikian pula media menganggap bahwa Islam adalah musuh yang nyata
bagi mereka. mengutip yang tertulis dalam bukunya Dr. Iswandi Syahputra, M.Si :
Penggunaan
istilah Islam-Barat dalam berbagai terminologi keilmuan dan pemberitaan media massa Barat sangat tidak adil.
Inilah produk sejarah yang juga banyak diamini oleh kalangan Islam sendiri. Seperti yang dikatakan Al-A’zami,
sejarah memang tidak pernah berpihak
pada kitab suci (Al-A’zami,
2005:70). Ekspansi budaya dan penduudkan Barat secara
besar-besaran sejak beberapa abad lalu telah meletakkan Timur (Islam termasuk didalamnya) menjadi tersubordinasi.
Menurut
Nadhiroh, Eks-Wartawan Solo Pos yang telah berkecimpung dalam dunia
kewartawanan selama 9 tahun,
Kecurigaan antara Islam dan media terjadi karena adanya pihak yang dirugikan.
Islam mencurigai media, karena Islam merasa dirugikan oleh pemberitaan media.
di Indonesia, tidak jarang media memberitakan Islam dalam frame yang negative.
Aksi terorisme akan senantiasa menjadi perhatian media, dan Islam akan
diberitakan dalam citra negatif. Aksi terorisme dalam pemberitaan media
digambarkan Adam W.Sukarno seperti yang tertulis dalam jurnalnya bahwa benang
merah antara media dan terorisme tidak terlepas dari aspek komersialiasi berita. Pada posisi ini, terorisme merupakan
sebuah fakta sosial yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan peningkatan
konsumsi berita di media massa. Bad news is a good news. Bahkan Nunung Prajarto
dalam tulisannya menyebutkan bahwa kecepatan, percepatan, dan cakupan luas
tebar informasi tentang terorisme bergantung pada kerja institusi media.
Sebagai
bahan renungan lain. beberapa waktu lalu, ketika terjadi aksi damai bela Islam
di Indonesia, adanya pemberitaan yang dianggap tidak adil yang merugikan umat
Islam, sehingga terjadinya aksi pengusiran terhadap stasiun TV, yakni metro TV.
Dan menciptakan tagar yang cukup viral di social media yakni #BoikotMetrotv dan
#Metrotipu. Tidak hanya media Indonesia, media barat ikut serta memberitakan
mengenai aksi damai bela Islam. Aksi yang dibanggakan oleh sebagian umat muslim
karena berjalan penuh kedamaian, ternyata diberitakan media barat dengan frame
yang berbeda. Seperti misalnya pemberitaan yang dilakukan oleh majalah TIME
pada tanggal 30 November dengan judul “Hardline Islamist Protests In Indonesia
Are Spreading Fear Among The Minority Chinese” . hal ini tidak jauh berbeda dengan pemberitaan
yang dilakukan oleh CNN yang juga menggunakan identitas Cina dan Kristen dalam
judul dan lead beritanya. Bahkan, Aljazeera, yang selama ini dianggap sebagai
media penyelamat wajah Islam turut memberitakan aksi tersebut dalam frame yang
sama dengan judul “An Extremely Big Show Of Force By Islamist Groups Who Have
Been Gaining Importance In Indonesia Over The Years”.
Framing negatif yang dilakukan
oleh media terhadap Islam menjadi perang kontemporer abad ini. apabila kecurigaan satu sama lain terus
berlanjut, maka perang tidak akan berakhir. Dan salah satu solusi yang bisa
dilakukan untuk mengakhiri peperangan dan menciptakan perdamaian, adalah
membentuk generasi Islam yang memiliki keinginan kuat ‘memperbaiki’ permainan
media massa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar