Weather (state,county)

Breaking

Minggu, 23 April 2017

Islam Vs Ideologi Media


            Era globalisasi menjadikan manusia tidak bisa lepas dari media massa.  Dewasa ini, kebutuhan manusia tidak lagi sebatas sandang, pangan, dan papan, namun juga informasi tentang kehidupan. Manusia yang menutup mata terhadap persoalan sekitar akan terkukung dalam kebodohan karena ketidaktahuan. Media massa, sebagai pilar keempat demokrasi yang telah diatur tugas dan fungsinya dalam UU No.40 tahun 1999 yakni to inform, to educate, to entertaint, dan to control social , menjadi harapan masyarakat sebagai sumber informasi, pemenuh hak asasi setiap umat, yakni mendapatkan informasi. Betapa pentingnya media massa dalam kehidupan umat manusia saat ini, hendaknya menjadikan pelaku media massa lebih arif dan bijaksana memegang amanah umat manusia.
            Runtuhnya orde baru di Indonesia membawa angin segara bagi media massa. Media massa atau pers memperoleh kebebasan setelah terkekang dengan berbagai aturan pada masa sebelumnya. Menurut Wikipedia, kebebasan pers adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan serta menyebar luaskan, percetakan dan penerbitan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah.[1] Pendapat lain menyebutkan bahwa kebebasan pers adalah kebebasan mengemukakan pendapat, baik secara tulisan maupun lisan, melalui media pers, seperti harian, majalah, dan bulletin. Kebebasan pers dituntut tanggung jawabnya untuk menegkkan keadilan, ketertiban, dan keamanan dalam masyarakat, bukan untuk merusaknya.

            Namun demikian, kebebasan pers di Indonesia tidaklah benar-benar bebas. Ada batasan-batasan yang harus diperhatikan, yang terangkum dalam kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik diciptakan agar kebebasan pers tidak kebablasan. Salah satu aturan yang tersebut dalam kode etik jurnalistik berbunyi “wartawan Indonesia harus bersikap independen dalam menghasilkan berita”.
            Menurut Eriyanto dalam bukunya Analisis Framing, tidak ada media yang benar-benar  independen. tidak ada kebenaran yang benar-benar absolut. Meskipun kode etik jurnalistik mengatur tentang independensi wartawan ataupun lembaga pers, namun faktanya, suatu berita telah tercampuri subjektifitas wartawan. Wartawan melakukan framing terhadap suatu kejadian. Sehingga menjadi wajar ketika satu peristiwa dapat diberitakan berbeda-beda oleh media massa.
            Hal ini menjadi menarik ketika kita membicarakan bagaimana Islam dalam bingkai media massa, khususnya media barat. Kecurigaan antara Islam dan media barat sudah bukan menjadi rahasia lagi. Islam mencurigai media sebagai alat menghancurkan image islam, demikian pula media menganggap bahwa Islam adalah musuh yang nyata bagi mereka. mengutip yang tertulis dalam bukunya Dr. Iswandi Syahputra, M.Si :
            Penggunaan istilah Islam-Barat dalam berbagai terminologi keilmuan dan pemberitaan       media massa Barat sangat tidak adil. Inilah produk sejarah yang juga banyak diamini oleh          kalangan Islam sendiri. Seperti yang dikatakan Al-A’zami, sejarah memang tidak pernah     berpihak pada kitab suci (Al-A’zami, 2005:70). Ekspansi budaya dan penduudkan Barat    secara besar-besaran sejak beberapa abad lalu telah meletakkan Timur (Islam termasuk   didalamnya) menjadi tersubordinasi.
           
            Menurut Nadhiroh, Eks-Wartawan Solo Pos yang telah berkecimpung dalam dunia kewartawanan selama 9 tahun, Kecurigaan antara Islam dan media terjadi karena adanya pihak yang dirugikan. Islam mencurigai media, karena Islam merasa dirugikan oleh pemberitaan media. di Indonesia, tidak jarang media memberitakan Islam dalam frame yang negative. Aksi terorisme akan senantiasa menjadi perhatian media, dan Islam akan diberitakan dalam citra negatif. Aksi terorisme dalam pemberitaan media digambarkan Adam W.Sukarno seperti yang tertulis dalam jurnalnya bahwa benang merah antara media dan terorisme tidak terlepas dari aspek komersialiasi  berita. Pada posisi ini, terorisme merupakan sebuah fakta sosial yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan peningkatan konsumsi berita di media massa. Bad news is a good news. Bahkan Nunung Prajarto dalam tulisannya menyebutkan bahwa kecepatan, percepatan, dan cakupan luas tebar informasi tentang terorisme bergantung pada kerja institusi media.
            Sebagai bahan renungan lain. beberapa waktu lalu, ketika terjadi aksi damai bela Islam di Indonesia, adanya pemberitaan yang dianggap tidak adil yang merugikan umat Islam, sehingga terjadinya aksi pengusiran terhadap stasiun TV, yakni metro TV. Dan menciptakan tagar yang cukup viral di social media yakni #BoikotMetrotv dan #Metrotipu. Tidak hanya media Indonesia, media barat ikut serta memberitakan mengenai aksi damai bela Islam. Aksi yang dibanggakan oleh sebagian umat muslim karena berjalan penuh kedamaian, ternyata diberitakan media barat dengan frame yang berbeda. Seperti misalnya pemberitaan yang dilakukan oleh majalah TIME pada tanggal 30 November dengan judul “Hardline Islamist Protests In Indonesia Are Spreading Fear Among The Minority Chinese” .  hal ini tidak jauh berbeda dengan pemberitaan yang dilakukan oleh CNN yang juga menggunakan identitas Cina dan Kristen dalam judul dan lead beritanya. Bahkan, Aljazeera, yang selama ini dianggap sebagai media penyelamat wajah Islam turut memberitakan aksi tersebut dalam frame yang sama dengan judul “An Extremely Big Show Of Force By Islamist Groups Who Have Been Gaining Importance In Indonesia Over The Years”.
            Framing negatif yang dilakukan oleh media terhadap Islam menjadi perang kontemporer abad ini.  apabila kecurigaan satu sama lain terus berlanjut, maka perang tidak akan berakhir. Dan salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk mengakhiri peperangan dan menciptakan perdamaian, adalah membentuk generasi Islam yang memiliki keinginan kuat ‘memperbaiki’ permainan media massa.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar