Dahulu kala manusia memimpikan kehidupan yang serba praktis dan
mekanistis. Kehidupan yang efisien dimana energi tidak banyak terbuang.
Kehidupan yang efektif dimana jarak dan waktu dapat dengan mudah dilipat.
Yasraf Amir Piliang bilang “dunia yang dilipat”. Kehidupan yang ditopang oleh
teknologi mutakhir di berbagai lini kehidupan, termasuk cara orang menyampaikan
informasi.
Pada akhirnya mimpi tersebut terwujud. Gong perkembangan teknologi
komunikasi (Pertekom) ditabuh ketika mesin cetak ditemukan. Benda yang mampu
melipatgandakan pesan tertulis dalam jumlah banyak. Lahirlah surat kabar. Sadar
surat kabar tak bisa berjalan apalagi untuk jarak yang jauh, manusia membuat
suara mereka menjadi kode-kode digital yang dapat diterima di tempat lain
menjadi suara kembali. Era telepon dimulai. Pemahaman manusia terhadap
gelombang frekuensi yang bertambah, melahirkan inspirasi untuk membuat kotak
ajaib bernama radio dan televisi. Jika telepon hanya sanggup melayani dua orang
berlawanan saja, radio dan televisi bisa dinikmati keroyokan.
Pertekom menggapai puncaknya ketika makhluk bernama internet
ditemukan. Sebuah jaringan komputer yang saling terhubung dan memungkinkan
transmisi informasi dalam waktu super cepat. Internet makin tak terbendung saat
siapa saja dapat mengaksesnya dimanapun, kapanpun dan melalui apapun, salah
satunya melalui telepon selular (ponsel).
Pada perkembangannya anak cucu telepon kabel tersebut mampu
menggabungkan beberapa media (televisi,radio,pager,telepon) dalam genggaman
tangan, orang menyebutnya konvergensi media. Akses informasi menjadi sangat tak
terbatas ketika ponsel mampu mengakses internet. Apalagi ditunjang banayak
layanan kartu operator yang balapan harga. Hasilnya orang dapat telponan,
menonton televisi, mendengarkan radio, surfing internet dengan satu alat, di
satu tempat, dan dalam satu waktu!
Dari Tatap Muka
ke Tatap Layar
Saat itulah komunikasi tatap muka perlahan mulai dicampakkan. Orang
bosan melihat wajah lawan bicaranya yang sama setiap kali bertatap muka, dan
lebih asyik bertemu dengan foto profilnya di Facebook karena setiap menit dapat
berubah. Bisa wajah fisiknya, kadang semangkuk bakso, artis idola, sampai
kata-kata mutiara. Jika pembicaraan menyinggung salah satu pihak, setidaknya yang
satu tidak kena bogem atau tamparan. Tinggalkan saja, blokir pertemanannya,
cari lagi yang baru.
Ketika informasi bisa orang dapatkan hanya dengan sekali klik,
untuk apa repot-repot menanyakan tetangga: semalam siapa yang menang? Madrid
atau Barca?. Pisang goreng hangat yang sedianya disantap bersama saat asyik mengutuk
berita sidang wakil rakyat yang terkatung-katung, bisa disantap sendiri di
hadapan layar komputer. Di sebelah, tetangganya melakukan hal yang sama.
Fungsi individual manusia
pada akhirnya tersalurkan jauh melebihi fungsi sosialnya. Orang terasing dari
dunianya sendiri yang nyata, tenggelam dalam dunia mayanya. Mimpi-mimpi manusia
dulu justru malah membuat dirinya teralienasi dari hakikatnya sebagai makhluk
berkomplot, sosiologi menyebutnya makhluk sosial. Menyapa orang ketika
sama-sama sedang menunggu bis lewat malah dikatain sok akrab.
Dengan segala informasi yang kita dapatkan dengan mudah, nampaknya kita
telah menemukan tuhan kita masing-masing. Sang gadget yang maha tahu,
hanya saja maha terjangkau harganya. Sebuah sempalan penafsiran terhadap konsep
wihdatul wujud. Bedanya, tuhan yang satu ini tidak bersemayam dalam jiwa
manusia, melainkan di saku dan tas manusia. Serta mensyari’atkan
perilaku-perilaku individualistik: enggan menyapa, berbicara seperlunya, hingga
budaya instan.
Perubahan sosial semacam ini segera membutuhkan penawarnya. Penawar
yang mampu mengontrol penghambaan manusia terhadap percepatan akses informasi
yang tak kenal tempat dan waktu. “Mengontrol” menjadi solusi yang lebih tepat alih-alih
“menghilangkan”. Karena tak bisa ditepis, Pertekom juga memberikan perubahan
sosial yang positif. Mengingat positif-negatif adalah sesuatu yang bersifat
subjektif, maka subjeknya pula yang kudu dikontrol, yakni: manusia yang
menciptakan perubahan sosial tersebut dan Pertekomnya itu sendiri.
Merindukan
Kehidupan Kolektif
Pertanyaan besar yang datang kemudian adalah: mampukah kehidupan
kolektif dihadirkan kembali di tengah masyarakat, setelah mereka gagap dan
gagal memaknai perkembangan teknologi?. Terutama di negeri-negeri Timur seperti
Indonesia yang terkenal dengan budaya gotong royongnya. Jawabannya justru
pertanyaan bernada korektif: mau atau tidak kita menghadirkan kehidupan
kolektif kembali?. Karena pasar teknologi komunikasi nampaknya sudah tak bisa
diajak kompromi. Dari era one tv,one village bergulir lalu one tv,one home; one
tv,one room; pasar televisi mampu terus menembus tembok privasi manusia hingga
sekarang mereka memulai era one tv,one person. Mudah-mudahan one tv,one hand
tidak terjadi.
Kembali. Jika mau, dalam beberapa kesempatan mari matikan televisi
sejenak, putuskan koneksi internet sehari, temui tetangga kita, teman kita,
pacar bagi yang punya, lalu bicaralah segera!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar