Weather (state,county)

Breaking

Rabu, 12 April 2017

Meluruskan Revolusi Komunikasi


Dahulu kala manusia memimpikan kehidupan yang serba praktis dan mekanistis. Kehidupan yang efisien dimana energi tidak banyak terbuang. Kehidupan yang efektif dimana jarak dan waktu dapat dengan mudah dilipat. Yasraf Amir Piliang bilang “dunia yang dilipat”. Kehidupan yang ditopang oleh teknologi mutakhir di berbagai lini kehidupan, termasuk cara orang menyampaikan informasi.

Pada akhirnya mimpi tersebut terwujud. Gong perkembangan teknologi komunikasi (Pertekom) ditabuh ketika mesin cetak ditemukan. Benda yang mampu melipatgandakan pesan tertulis dalam jumlah banyak. Lahirlah surat kabar. Sadar surat kabar tak bisa berjalan apalagi untuk jarak yang jauh, manusia membuat suara mereka menjadi kode-kode digital yang dapat diterima di tempat lain menjadi suara kembali. Era telepon dimulai. Pemahaman manusia terhadap gelombang frekuensi yang bertambah, melahirkan inspirasi untuk membuat kotak ajaib bernama radio dan televisi. Jika telepon hanya sanggup melayani dua orang berlawanan saja, radio dan televisi bisa dinikmati keroyokan.

Pertekom menggapai puncaknya ketika makhluk bernama internet ditemukan. Sebuah jaringan komputer yang saling terhubung dan memungkinkan transmisi informasi dalam waktu super cepat. Internet makin tak terbendung saat siapa saja dapat mengaksesnya dimanapun, kapanpun dan melalui apapun, salah satunya melalui telepon selular (ponsel).

Pada perkembangannya anak cucu telepon kabel tersebut mampu menggabungkan beberapa media (televisi,radio,pager,telepon) dalam genggaman tangan, orang menyebutnya konvergensi media. Akses informasi menjadi sangat tak terbatas ketika ponsel mampu mengakses internet. Apalagi ditunjang banayak layanan kartu operator yang balapan harga. Hasilnya orang dapat telponan, menonton televisi, mendengarkan radio, surfing internet dengan satu alat, di satu tempat, dan dalam satu waktu!

Dari Tatap Muka ke Tatap Layar
Saat itulah komunikasi tatap muka perlahan mulai dicampakkan. Orang bosan melihat wajah lawan bicaranya yang sama setiap kali bertatap muka, dan lebih asyik bertemu dengan foto profilnya di Facebook karena setiap menit dapat berubah. Bisa wajah fisiknya, kadang semangkuk bakso, artis idola, sampai kata-kata mutiara. Jika pembicaraan menyinggung salah satu pihak, setidaknya yang satu tidak kena bogem atau tamparan. Tinggalkan saja, blokir pertemanannya, cari lagi yang baru.

Ketika informasi bisa orang dapatkan hanya dengan sekali klik, untuk apa repot-repot menanyakan tetangga: semalam siapa yang menang? Madrid atau Barca?. Pisang goreng hangat yang sedianya disantap bersama saat asyik mengutuk berita sidang wakil rakyat yang terkatung-katung, bisa disantap sendiri di hadapan layar komputer. Di sebelah, tetangganya melakukan hal yang sama.

 Fungsi individual manusia pada akhirnya tersalurkan jauh melebihi fungsi sosialnya. Orang terasing dari dunianya sendiri yang nyata, tenggelam dalam dunia mayanya. Mimpi-mimpi manusia dulu justru malah membuat dirinya teralienasi dari hakikatnya sebagai makhluk berkomplot, sosiologi menyebutnya makhluk sosial. Menyapa orang ketika sama-sama sedang menunggu bis lewat malah dikatain sok akrab.

Dengan segala informasi yang kita dapatkan dengan mudah, nampaknya kita telah menemukan tuhan kita masing-masing. Sang gadget yang maha tahu, hanya saja maha terjangkau harganya. Sebuah sempalan penafsiran terhadap konsep wihdatul wujud. Bedanya, tuhan yang satu ini tidak bersemayam dalam jiwa manusia, melainkan di saku dan tas manusia. Serta mensyari’atkan perilaku-perilaku individualistik: enggan menyapa, berbicara seperlunya, hingga budaya instan.

Perubahan sosial semacam ini segera membutuhkan penawarnya. Penawar yang mampu mengontrol penghambaan manusia terhadap percepatan akses informasi yang tak kenal tempat dan waktu. “Mengontrol” menjadi solusi yang lebih tepat alih-alih “menghilangkan”. Karena tak bisa ditepis, Pertekom juga memberikan perubahan sosial yang positif. Mengingat positif-negatif adalah sesuatu yang bersifat subjektif, maka subjeknya pula yang kudu dikontrol, yakni: manusia yang menciptakan perubahan sosial tersebut dan Pertekomnya itu sendiri.

Merindukan Kehidupan Kolektif
Pertanyaan besar yang datang kemudian adalah: mampukah kehidupan kolektif dihadirkan kembali di tengah masyarakat, setelah mereka gagap dan gagal memaknai perkembangan teknologi?. Terutama di negeri-negeri Timur seperti Indonesia yang terkenal dengan budaya gotong royongnya. Jawabannya justru pertanyaan bernada korektif: mau atau tidak kita menghadirkan kehidupan kolektif kembali?. Karena pasar teknologi komunikasi nampaknya sudah tak bisa diajak kompromi. Dari era one tv,one village bergulir lalu one tv,one home; one tv,one room; pasar televisi mampu terus menembus tembok privasi manusia hingga sekarang mereka memulai era one tv,one person. Mudah-mudahan one tv,one hand tidak terjadi.


Kembali. Jika mau, dalam beberapa kesempatan mari matikan televisi sejenak, putuskan koneksi internet sehari, temui tetangga kita, teman kita, pacar bagi yang punya, lalu bicaralah segera!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar