Oleh: Ence Sopyan
Muhammadiyah menjadi organisasi keagamaan yang sangat berpengaruh
bagi kemerdekaan bangsa Indonesia. Banyaknya tokoh Muhammadiyah yang berjuang
mempertahankan Indonesia sehingga tidak sedikit tokoh Muhammdiyah yang diberi penghargaan
sebagai pahlawan sebagai jerih payah mereka untuk mengusir Belanda dari tanah
Ibu Pertiwi. Contohnya Ki Bagus Hadikusumo yang merupakan anggota dari Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPUPKI),[1]yang
baru-baru ini ditetapkan sebagai pahlawan negara yang tempat peristirahatan
terakhirnya bertempat di Kota Gede, Yogyakarta.
Sedikit mengingat
gerakan-gerakan Islam yang ada didunia tentunya dimulai dari adanya dinamika
gerakan Islam yang setiap masa mempunyai perubahan signifikan baik itu ke arah
lebih baik atau ke arah yang kurang baik. Dimulai dari masa kejayaan Islam
yakni zaman dinasti-dinasti yang senantiasa peradabannya lebih terjamin dari
mulai permasalahan sosial, keilmuan, maupun aqidah. Sehingga pada zaman ini
dunia timur tengah sangat diperhatikan dan banyak pula bermunculan para
orientalis yang memang ingin memperdalam keilmuan di timur tengah. Namun
seiring dengan kejayaannya, Islam pun mengalami kemunduran, sehingga pada
puncaknya ke khalifahan Abbasiyah yang bertempat di Baghdad maupun ke
khalifahan yang bertempat di Andalusia mengalami pengakuan bahwa peradaban
Islam sudah tidak relevan lagi dengan permasalahan global.
Memang ada
beberapa faktor yang melatar belakangi kemunduran ini, yang bermula dari
kerapuhan dalam penghayatan ajaran Islam, terutama yang terjadi pada kalangan
penguasa, bagi mereka ajaran Islam hanya sekedar diamalkan dari segi formalitas
belaka, bukan lagi dihayati dan diamalkan sampai pada hakikat dan ruh-nya.[2]
Tak lepas juga permasalahan dari adanya pendirian sementara ulama konservatif
yang menyatakan bahwa pintu jihad telah ditutup dan untuk menghadapi berbagai
permasalahan kehidupan umat Islam cukup mengiktui pendapat dari para imam
Madzhab. Sehingga adanya sifat memutlakan pendapat seperti Imam Malik, Imam hanafi,
Imam Syafii, dan Imam Hambali. Padahal pada hakikatnya Imam-Imam tersebut masih
tetap manusia biasa, yang tidak lepas dari kesalahan.
Muhammadiyah
didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan bin K.H. Abu Bakar, Imam Ratib masjid
besar kota Yogyakarta atau bisa dikenal sebagai khatib Amin. Kyai Haji Ahmad
Dahlan yang semasa kecilnya sudah belajar tentang agama dan pada usia dewasa
pernah menimba ilmu di Mekkah menjadikan Ahmad Dahlan sebagai orang yang
terhormat bagi wilayah kauman dan menjadi guru bagi murid-murid ayahnya yang
belajar diwaktu siang atau ba’da dzuhur dan di sore hari atau ba’da maghrib
sampai dengan isya. Yang pada akhirnya Ahmad Dahlan berniat untuk
memproklamirkan berdirinya Muhammadiyah dengan mengadakan rapat undangan
terbuka dengan mengundang warga setempat dan salah satu organisasi pertama di
Indonesia yakni Budi Utomo yang telah membantu tenaga dan morilnya selama
Muhammadiyah mengajukan permohonan Ijin kepada pemerintah Hindia Belanda.
Gerakan
Muhammadiyah setelah didirikan dan diresmikan tentunya memulai babak baru,
pasalnya begitu banyak permasalahan yang memang harus diselesaikan antara lain
masih dijajahnya Indonesia oleh Belanda, kurang pendidikannya umat Islam yang
ada di Indonesia, ataupun datang permasalahan dari internal Islam yakni masih
kurang dipercayanya Muhammadiyah sebagai gerakan Islam bahkan masih ada yang
menganggap Muhammadiyah sebagai aliran sesat. Sehingga Muhammadiyah harus berfikir keras bagaimana memecahkan
permasalahan yang datang silih berganti.
Muhammadiyah pada
masa awal yang di pimpin oleh KH. Ahmad Dahlan langsung, berupaya untuk sedikit
meniru atau lebih pasnya belajar kepada organisasi yang sistem organisasinya
sudah tersusun rapi. Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan tentunya
memerlukan ilmu tentang ke organisasian guna mendukung tercapainya maksud dan
tujuan yang telah ditetapkan. Maka dari itu KH Ahmad Dahlan pada tahun 1917
pernah memrintahkan kepada muridnya untuk membantu sidang yang dilaksanakan
oleh organisasi Budi Utomo.‘Para pemuda berkumpul di tempat yang biasa
mereka itu berkumpul, ialah dirumah Sdr. H.M. Syuja’ Kauman, diantaranya ada
beberapa saudara merenungkan apa yang telah terjadi dalam sidang Budi Utomo.
Bukanlah mereka itu merenungkan karena ingin menjadi anggota Budi Utomo, tetapi
yang direnungkan adalah bertapa indah dan eloknya seumpama agama Islam kita
dapat diterangkan dai muka orang banyak atau umum sebagaimana cara yang
dilakukan oleh Budi Utomo itu dengan bahasa daerah (bahasa Jawa) tentu akan
lancar tersiarnya dan mudah pula dapat dimengerti dan dipahami oleh khalayak
ramai.[3]
Muhammadiyah pula yang pertama menggagas gerakan secara non politik
atau bisa dikatakan jauh dari adanya keinginan untuk berkuasa di Indonesia.
Bisa dilihat dari semenjak diresmikannya Muhammadiyah oleh Sultan
Hamengkubuwono, Muhammadiyah mempunyai orientasi gerakan yang jelas antara lain
1)Muhammadiyah bergerak ranah pendidikan 2)Muhammadiyah bergerak dibidang
dakwah amar ma’ruf nahyi munkar dan 3)Muhammadiyah bergerak dibidang kesehatan
bagi umat. Maka bukan tidak mungkin Muhammadiyah pergerakannya lambat akan
tetapi cepat sekali, karena dengan adanya kualifikasi ranah gerak dari
organisasi ini tentunya banyak pihak yang merespon tentang makna gerakan
Muhammadiyah tidak terkecuali peranan
Sultan Hamengkubuwono yang ikut meramaikan Muhammadiyah seperti memberi
pengajian pada malam jum’at, yang menjadikan jamaahnya semangat untuk
mendengarkan karena merasa dekat dengan seorang pemimpin mereka.
Semisal yang
dilakukan oleh bidang dakwah, Muhammadiyah mengadakan kumpulan rutin bagi penduduk
sekitar tepatnya pada malam jum’at untuk mengadakan pengajian keislaman, yang
tujuannya untuk mencerahkan pengetahuan umat Islam supaya mengetahui urgensi
Islam itu sendiri disamping tujuan utamanya yakni menyatukan umat Islam untuk
semakin peduli dengan saudara-saudara sesama manusia sehingga menimbulkan sikap
saling tolong menolong dalam hal perbaikan taraf kehidupan yang lebih baik.
Namun gerakan
Muhammadiyah pada masa awal seperti yang di uraikan diatas tidak lepas dari tujuan
utamanya yakni untuk memurnikan Islam dari berbagai kepercayaan dan praktik
yang bersifat tahayul. Sehingga Muhamamdiyah mempunyai semboyan sebagai gerakan
purifikasi terhadap Tahayul, Bid’ah, Churafat (TBC) yang pada awalnya Muhammadiyah
sangat memperhatikan pergerakan dari tiga fenomena tersebut. Dengan semangat
fastabiqul khairat nya (tidak menjatuhkan satu sama lain), Muhammadiyah lebih
dekat dengan umat karena terjun langsung ke masyarakat dengan mempunyai bekal
solusi untuk berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat, khususnya umat
Islam.
Respon dari
permasalahan umat pun, Muhammadiyah pada tahun 1922 mendirikan organisasi
wanita yang bernama Aisyiah, sebagai wujud perhatian terhadap kemajuan
kaum wanita Islam. Organisasi wanita yang berdiri sendiri dengan
kegiatan-kegiatan antara lain mengasuh anak yatim, kursus-kursus kewanitaan.
Sebelum diberi nama Aisyiah, organiassi ini bernama Sopotresno, namun
atas saran dari Haji Muchtar (anggota Muhammadiyah) untuk mengubah menjadi Aisyiah.[4]
Ini menunjukan bahwa Muhammadiyah serius memperhatikan potensi perempuan dan
membuang jauh pemikiran bahwa perempuan tidak bisa berbuat apa-apa bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Muhammadiyah juga
membentuk organisasi kepanduan yang diberi nama Hizbul Wathan, karena Ahmad
Dahlan mendengar informasi dari seorang guru Muhammadiyah yang mengajar di Solo
tentang kepanduan Kristen yang sering ia lihat melakukan latihan di alun-alun
Mangkunegeran, Solo. Sehingga Hizbul Wathan yang didirikan pada tahun 1918 itu
diharapkan sebagai pembela tanah air Indonesia, dalam hal ini menjaga kesatuan
Republik Indonesia dari penjajahan yang dalam konteks dahulu hizbul wathan
berperan sebagai pelindung rakyat dan pejuang untuk mengusir penjajah belanda.
Sebagai gerakan
pembaharuan Islam, Muhammadiyah tidak bisa dipandang sebagai gerakan Islam
biasa seperti halnya gerakan pembaharuan yang datang dari timur tengah, Namun,
Muhammadiyah lahir sebagaiwujud nyata respon umat Islam terhadap permasalahan
keagamaan dan politik. Dalam jiwa solidaritas yang tinggi, maka Muhammadiyah
tampil sebagai gerakan keagamaan yang mampu mengelola organisasinya dengan baik
dan mampu mendirikan lembaga/komunitas sebagai upaya memecahkan permasalahan
umat seperti pendidikan,kesehatan, panti asuhan. Jika ditelaah arsip-arsip
tentang gerakan Muhammadiyah sulit atau malahan tidak ada konsep-konsep yang
ditampilkan, melainkan lebih kepada tindakan riil atau bisa disebut dengan
dakwah bil hal.[5]Ini
yang menjadi kunci gerakan Muhammadiyah baik itu pada masa awal berdirinya yang
lebih menekankan pada kemaslahatan umat Islam bagaimana bisa menjalankan hidup
sesuai dengan syariat tanpa menghilangkan nilai budaya yang dipandang sebagai
penunjang dalam bersemangat ibadah.
[1] Weinata Sairin ‘Gerakan pembaharuan Muhammadiyah’, 1995, hlm 109
[2] Musthafa Kamal Pasha ‘Muhammadiyah sebagai gerakan Islam’, 2009,
hlm 14
[3] Kyai Ahmad Dahlan dalam catatan pribadi Kyai Syuja ‘Islam berkemajuan
kisah perjuangan KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah masa awal
[4] Weinata Sairin ‘Gerakan pembaharuan Muhammadiyah’, 1995, hlm 54
[5] Penyunting Ade Ma’ruf ‘Muhammadiyah dan oemberdayaan rakyat’, 1995,
hlm 109
Tidak ada komentar:
Posting Komentar