Badan Pengurus Harian - Gotong
royong adalah istilah yang menunjukkan kebersamaan dalam melakukan sesuatu.
Paul Michael Taylor dan Lorraine V. Aragon menyatakan bahwa gotong royong is
cooperation among many people to attain a share goal. Kebersamaan dalam konteks
hubungan social menunjukkan relasi yang dilakukan masyarakat dengan merujuk
pada ciri seperti rukun (mutual adjustment) atau tolong menolong (reciprocal
assistance). Dalam bahasa jawa, terdapat istilah gugur gunung yang dapat disepadankan
dengan gotong royong. Kedua istilah tersebut dalam tulisan tersebut adalah
interchangeable yaitu sepadan dan saling menggantikan.
Gugur
gunung mempunyai makna kerja sosial yang harus dilakukan secara bersama-sama
untuk menyelesaikan kerja yang berat seolah-olah seperti meruntuhkan gunung.
Menilik namanya, gugur gunung berarti menghancurkan gunung. Mustahil jika
seseorang diri mampu merobohkan gunung yang besar. Istilah gugur gunung memberi
inspirasi dan spirit kepada orang banyak agar tidak silau terhadap pekerjaan
yang sangat berat. Pepatah ini mungkin dapat dipersamakan dengan ungkapan,
berat sama dipikul ringan sama dijinjing, sebuah ungkapan luhur yang menekankan
kebersamaan.
Dalam
kehidupan masyarakat (jawa), gotong royong merupakan konsep moral dalam
berinteraksi. Sebagai konsepsi moral, menginspirasi kegiatan sosial
kemasyarakat untuk saling membantu atau berbagi beban dalam mengatasi
kesulitan. Gotong royong as a tool of social problem solver menjadi dominan
untuk menjaga kohesi sosial. Ikatan sosial terbentuk saat melakukan kegiatan
bersama dengan motivasi saling membantu, meringankan beban anggota masyarakat
yang membutuhkan uluran bantuan.
Gotong
royong memiliki sifat ketersalingan (reciprocality), dimana anggota masyarakat
saling menyadari keterkaitan dan ketergantungan satu dengan yang lainya.
Ketersalingan disini juga dapat dimaknai dalam perspektif prinsip tabur-tuai,
anggota masyarakat yang sudah mengulurkan bantuan pada suatu saat didepan akan
memperoleh balasan dari uluran tangan yang pernah dilakukan. Namun tidak harus
demikian karena terdapat sosial wisdom yaitu keiklasan dalam mengulurkan tangan
ketika melakukan gotong royong.
Keikhlasan
inilah yang menjadi ‘jaminan’ lahirnya kerukunan sebagai manifestasi nilai
keharmonisan dalam masyarakat. Ketersalingan dalam gotong royong dan
kemungkinan anomaly prinsip tabur-tuai tetap menjamin terjadinya kerukunan dan
tolong menolong dalam sebuah masyarakat. Ikhlas menjadi nilai yang mendorong
tidak hanya untuk melakukan gotong-royong, tetapi juga menjadi ‘jaring
pengaman’ untuk ditidak melakukan ‘balas dendam’ ketika ada anggota masyarakat
tidak melakukan gotong royong.
Pada tanggal 28 November 2017, Kota
Jogja dilanda sebuah bencana yang bernama Badai Dahlia. Badai ini terjadi
selama 3 hari. Hujan yang mengguyur Jogja selama 3 hari disertai angin yang
tiada henti membuat bencana yang tidak dapat untuk dihindari. Tercatat beberapa
daerah di Jogja mulai tergenang air seperti di Gunung Kidul, Bantul, maupun di
Jogja Kota. Bahkan di Bantul terjadi jembatan ambruk karena tidak kuat menahan
debit air sungai yang sedang banjir.
Gunung Kidul termasuk daerah yang
terkena banjir cukup parah, banjir ini membuat masyarakat kehilangan tempat
tinggalnya, lahan pertanian, dan melumpuhkan kegiatan perekonomian. Bencana ini
membuat masyarakat terutama yang tinggal di Jogja tergerak hatinya untuk
membantu korban bencana dengan memberi bantuan seperti sembako, pakaian,
alat-alat kebersihan, obat-obatan, dll. Masyarakat Jogja, dengan sigap dan
tanggap menghadapi bencana ini dengan cara gotong royong. Ini adalah sebuah
kerelawanan dan aksi kemanusiaan yang menjadikan Jogja tetap kuat, Jogja tetap
istimewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar