Presiden
Soekarno pernah menyatakan lewat amanatnya,”Jangan melupakan sejarah”, itulah
kata yang kini mulai diabaikan para pemuda. Jasa tokoh-tokoh pahlawan dalam
membesarkan bangsa dan negara ini bukanlah sebuah tanggung jawab yang mudah
untuk dilakukan, namun perlu upaya ekstra yang mampu menjadi peretas polemik
bangsa. Dari sinilah, penulis bisa mengambil benang merah, menemukan bagaimana
kita belajar dari mereka untuk direfleksikan kembali guna menciptakan
kader-kader yang berkompeten. Tetapi, penulis bukan mengungkit tokoh-tokoh
nasional seperti yang diutarakan, tetapi di sini yang dimaksut ialah
tokoh-tokoh penggede Muhammadiyah
terdahulu yang mampu mendongkrak Persyarikatan Muhammadiyah.
Keberadaan
tokoh-tokoh besar Muhammadiyah seperti KH. Ahmad Dahlan, Prof. Dr. Amien Rais,
AR. Fakhruddin, AR. Sutan Mansoer, Djarnawi Hadikusumo, Ahmad Syafii Maarif
maupun tokoh besar lainnya sepatutnya bisa kita ambil contoh baik dari segi kepemimpinan
maupun semangat pergerakan. Perlunya belajar dari pemimpin Muhammadiyah masa
lalu, karena penulis menilai mereka memiliki karakter, ciri khas, prinsip
totalitas dan loyalitas serta kesalehan sosial. Hal ini bisa menjadi langkah cerminan
ke depan bagi kader untuk bisa mengikuti jejak mereka, tidak sekedar berkutik
dalam teori saja, melainkan mampu mengaktualisasikan dalam kehidupan, khususnya
dalam kader IMM.
Untuk
membentuk suatu kader yang totalitas dan loyalitas bukanlah perjuangan yang
mudah mengingat eksistensi ruh kader yang mulai memudar. Persoalan kader yang
kini lebih mengutamakan persoalan politik bukan pada bagaimana untuk
mengembangkan kader dalam mempertahankan idealisme serta kekuatan ruh
kepemimpinan. Ahmad Syafii Maarif pernah mengatakan bahwa :
“Pemuda Muhammadiyah semestinnya
tetap menggunakan akal sehat dan nuraninya yang bersih dan mampu membaca ruh
zaman yang tidak mudah dibaca. Mereka yang memiliki trampil dalam hal politik
tentu jangan sampai menjadikannya sebagai gerbong kendaraan dalam menumbuhkan
konflik.”
Dari
sini bisa ditarik kesimpulan, bahwa janganlah kader IMM terbelenggu oleh jeratan
politik semata, tetapi justru lebih menitikberatkan pada penanaman kader yang
berawasan intelektual maupun spiritualitas yang tentu sejalan dengan Trilogi
IMM yakni, religiusitas, intelektualitas serta humanitas.
Perlu
penulis tekankan kembali, janganlah untuk bersikap “sombong” dan melupakan
sejarah, tidak salahnya sebagai kader IMM untuk bisa belajar dari sejarah
kepemimpinan tokoh terdahulu. Tanpa ada mereka Muhammadiyah tidak akan bisa
sebesar saat ini, justru mereka dilatarbelakangi oleh kader yang militan dan
progresif. Tidak hanya pada berapa lama berkecimpung dalam Persyarikatan,
tetapi apa yang bisa kita lakukan untuk Muhammadiyah. Seperti yang kita ketuhi
bahwa, janganlah berharap untuk mencari penghidupan di Muhammadiyah, melainkan
bagaimana kita bisa memberikan sesuatu ke Persyarikatan ini.
Yang menjadi
pertanyaaan bagi kita ialah, apakah kita sudah melalukan sesuatu yang real
terhadap Muhammadiyah, khususnya dalam lingkungan IMM kita ? Janganlah berlagak
bangga karena hidup dan besar di Muhammadiyah tetapi masih belum mampu
menyumbangkan pemikiran ataupun sumbangsih yang dapat memajukan rumah kita ini.
Tidak perlu harus berpikir mencari sesuatu yang besar, tetapi mulailah dengan
hal kecil, seperti dengan menjadi kader yang militan dan progresif serta
berkompeten khususnya di rumah IMM.
Menggali
Human Interest Tokoh Muhammadiyah
Tentu, belajar dari
pengalaman tokoh Muhammadiyah terdahulu bisa menggugah hati nurani bagi para
kader untuk lebih giat di strukturalnya. Pengalaman-pengalaman yang mengesankan
seperti Pak AR Fakhruddin bisa dibilang tokoh yang legendaris. Kesederhanaannya
hingga menjadikannya sebagai sosok figur ulama yang merakyat lewat tindakannya
yang nyata seperti kesahajaannya, kearifan, cerdas, kesalehannya. Ia
semerta-merta tidak langsung bisa beranjak ke pergulatan Muhammadiyah, tetapi
juga dimulai dari kader layaknya dari bawah ke atas. Bahkan, ia dikenal amanah
dan pandai dalam nilai-nilai religiusitas seperti yang termaktub dalam
pembentukan kepribadian kader. Dengan menanamkan kepribadian kader yang
religius,
IMM sebagai salah satu
badan ortonom Persyarikatan Muhammadiyah harus terus dibina dengan menciptakan
kader-kader yang berkompeten, loyalitas serta militan atau progresif tanpa
harus membuat kader sebanyak-banyaknya, melainkan kepada menciptakan
kader-kader yang unggul dengan sumber daya yang ada. Dengan menerapkan serta
merefleksikan kisah-kisah dari para tokoh besar Muhammadiyah diharapkan kader
IMM ke depan mampu mengikuti jejak mereka bukan hanya pada sikap tauladannya
saja, tetapi .tanpa menghilangkan jati diri.
Tokoh lain seperti
Djarnawi Hadikusumo putra Ki Bagus Hadikusumo, merupakan salah satu kader yang
mumpuni tidak hanya dalam hal aktivis tetapi juga sebagai praktisi. Beliau
seorang pemikir sekaligus juga penulis produktif. Yang diharapkan ke depan,
kader IMM tidak hanya sekedar mampu dalam hal berorganisasi saja, tetapi juga
menciptakan hasil karyanya melalui karya tulis. Seorang kader IMM sangat
disayangkan jika pandai dalam berucap tetapi kurang dalam semangat menulis.
Perubahan era saat ini telah berubah, jika dulunya sedikit bicara banyak tindakan,
saat ini, paradigma berubah. Kini, baik berbicara maupun bertindak sama-sama
penting karena sudah menjadi tuntutan aktual yang harus dijalankan.
Kesadaran
Diri
Jika
ingin menumbuhkan kader IMM yang sadar diri, perlunya pengorganisasian yang
matang yang beraskan pada nilai-nilai intelektual profetik. Maksutnya, ialah
seorang kader harus sadar dan paham dengan realitas bahwa dirinya terikat,
dalam melakukan transformasi sosial. Pertama, kader harus dibina untuk sadar
ikatan. Secara personal, kesadaran dibangun untuk membentuk transformasi sosial
dengan menanamkan semangat berorganisasi, bereksistensi di gerakan. Tidak hanya
dalam ikatan saja, kader juga harus menjawab realitas sosial. Di sini kader
dituntut untuk peka terhadap realita sosial, baik itu dalam bidang ekonomi,
sosial, budaya dan sebagainya. Para tokoh terdahulu pun demikian, mereka juga
belajar bagaimana membaca situasi baik di lingkungan ikatan maupun sosial,
bukan untuk mengintepretasikan apa yang telah ada tetapi mencari sesuatu
perubahan. Sebagaimana dengan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan, seorang
kader dituntut untuk tidak sekedar mengikuti zaman, tetapi juga untuk
mempertahankan idealismenya demi merubah zaman.
Seperti yang diutarakan
oleh Ketua Cabang IMM Kab. Sleman, Immawan M. Habibi Miftalhul Marwa bahwa kader IMM
menjadi satu-satunya ke depan yang mampu meretas dilema kepemimpinan bangsa dan
negara. Tidak ada kader dari organisasi atau lembaga lain yang bisa diharapkan
untuk memipin bangsa ini. Untuk itu, perlu ada upaya untuk mempertahankan serta
mengembangkan kualitas kader. Dengan belajar dari tokoh terdahulu serta
menumbuhkan sikap kesadaran antar kader bahwa kita mempunyai tanggungjawab yang
sama secara bersama. Tidak ada yang mustahil jika kader IMM mampu meraih
cita-cita tersebut, jika dibarengi dengan kemauan serta aktualitas nyata dari
tiap kader untuk merubah dinamika sosial yang semakin terpuruk. Terpenting
adalah, membina kader terlebih dahulu, untuk menciptakan generasi ke depan yang
lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Fadmi Sustiwi. 2010. Muhammadiyah dalam Flashdisk.
Yogyakarta: Dini Media Pro
Gunawan Budiyanto.
2010. Djarnawi Hadikusuma dan
Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
Sukriyanto AR. 2010. Kepemimpinan Pak AR dalam Kenangan.
Yogyakarta: Ar-Rahmah
M. Abdul Halim Sani.
2011. Manifesto Gerakan Intelektual
Profetik.Samudera Biru:Yogyakarta
Ahmad Syafii
Maarif. 2005. Menggugah Nurani Bangsa.
Jakarta: Maarif Institute
Oleh: Aris Budi Sinudarsono
Bidang Media & Tabligh 2013-2014
IMM Fakultas Dakwah
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar