Oleh
: AR. Irfan Zakki F[*]
Sangat
menarik untuk dibicarakan jika kita berbicara mahasiswa, karena mahasiswa
adalah predikat yang amat “eksklusif”. Disebut eklsusif karena mahasiswa adalah
sosok yang istimewa dipandang dari sudut apapun dan dari manapun serta
mempunyai cerita yang istimewa dari masa ke masa, baik di Negara maju maupun di
Negara berkembang begitu juga halnya dengan mahasiswa di Indonesia. Di
Indonesia sendiri mahasiswa mempunyai peranan penting dalam mengubah sejarah
kebangsaan dan perjalanan demokrasi. Jauh beberapa tahun kebelakang kita
mengenal angkatan gerakan kemahsiswaan dengan segala momentum sejarah
kebangsaan di tanah air. Mulai dari peristiwa proklamasi kemerdekaan,
Berbicara masalah mahasiswa, tidak telepas
dari pergerakan mahasiswa. Sejarah
pergerakan mahasiswa dengan pemerintah dan elite politik sudah berlangsung
sejak lama. Tahun 1966, misalnya, mahasiswa secara lantang menyuarakan isu
Tritura. Kemudian tahun 1970 mahasiswa melakukan aksi menentang kenaikan harga
minyak serta budaya korupsi di tubuh pemerintahan. Selanjutnya, mahasiswa juga
kencang menggugat berbagai persoalan yang dinilai sepihak, tidak adil, dan
tidak demokratis seperti Peristiwa Malari (1974), kebijakan pembekuan Dewan
Mahasiswa (1978), asas tunggal Pancasila (1984), dan SDSB (1988).
Berbeda dengan partai poltik yang
berorientasi kekuasaan, gerakan mahasiswa memperjuangkan nilai-nilai (values)
yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Gerakan mahasiswa adalah seperangkat
kegiatan mahasiswa yang bergerak menentang dan mempersoalkan realitas objektif
yang dianggap bertentangan dengan realitas subjektif mereka. Hal itu
termanifestasikan melalui aksi-aksi politik dari yang bersifat lunak hingga
sangat keras seperti penyebaran poster, tulisan di media massa, diskusi-diskusi
politik, lobi, dialog, petisi, mogok makan, mimbar bebas, pawai di kampus,
mengunjungi lembaga kenegaraan, turun ke jalan secara massal, perebutan dan
pendudukan fasilitas-fasilitas strategis seperti lembaga kenegaraan, stasiun
radio serta televisi, dan lain-lain. Mahasiswa mengambil pilihan itu karena merasakan
dan memahami bahwa ada nilai-nilai yang "suci" atau "ideal"
dan bahkan "universial" yang mengalami ancaman khususnya karena
kebijakan pemerintah. Mahasiswa berdemonstrasi karena menemukan banyak gejala
atau praktik yang hendak menggusur dan bahkan membunuh nilai-nilai tersebut.
Kehadiran
gerakan mahasiswa sebagai perpanjangan aspirasi rakyat dalam situasi yang
demikian itu memang sangat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran
politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi pada penguasa.
Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan
posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi
lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan
mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas kepeduliannya yang
mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi
perbaikan kualitas hidup bangsanya.
Mahasiswa dan gerakannya yang senantiasa
mengusung panji-panji keadilan, kejujuran, selalu hadir dengan ketegasan dan
keberanian. Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor pemihakan terhadap
ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik mahasiswa yang telah
memberikan kontribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya.
Mahasiswa yang merupakan sosok pertengahan dalam masyarakat yang masih idealis
namun pada realitasnya terkadang harus keluar dari idealitasnya. Pemihakan
terhadap ideologi tertentu dalam gerakan mahasiswa memang tak bisa dihindari.
Pasalnya, pada diri mahasiswa terdapat sifat-sifat intelektualitas dalam
berpikir dan bertanya segala sesuatunya secara kritis dan merdeka serta berani
menyatakan kebenaran apa adanya. Sebuah konsep yang cukup ideal bagi sebuah
pergerakan mahasiswa walau tak jarang pemihakan-pemihakan tersebut tidak pada
tempatnya.
Masa selama
studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah pikiran,
sikap, dan persepsi mereka dalam merumuskan kembali masalah-masalah yang
terjadi di sekitarnya. Kemandegan suatu ideologi dalam memecahkan masalah yang
terjadi merangsang mahasiswa untuk mencari alternatif ideologi lain yang secara
empiris dianggap berhasil. Maka tak jarang, kajian-kajian kritis yang kerap
dilakukan lewat pengujian terhadap pendekatan ideologi atau metodologis
tertentu yang diminati. Tatkala, mereka menemukan kebijakan publik yang
dilansir penguasa tidak sepenuhnya akomodatif dengan keinginan rakyat
kebanyakan, bagi mahasiswa yang committed dengan mata hatinya, mereka akan
merasa "terpanggil" sehingga terangsang untuk bergerak. Kedekatannya
dengan rakyat terutama diperoleh lewat dukungan terhadap tuntutan maupun
selebaran-selebaran yang disebarluaskan dianggap murni pro-rakyat tanpa adanya
kepentingan-kepentingan lain mengiringinya. Adanya kedekatan dengan rakyat dan
juga kekuatan massif mereka menyebabkan gerakan mahasiswa bisa bergerak cepat
berkat adanya jaringan komunikasi antar mereka yang aktif layaknya bola salju,
semakin lama semakin besar. Oleh sebab itu, mahasiswa selalu menjadi motor
penggerak perubahan dalam sebuah peradaban.
Namun, pasca
reformasi kepedulian dan eksistensi mahasiswa terhadap isu-isu yang terjadi disekitarnya
mengalami degradasi yang cukup signifikan. Ada beberapa faktor yang menjadi
penyebab masalah tersebut. Yang pertama adalah kondisi masyarakat yang sudah
jauh berbeda dengan kondisi di masa lampau. Ada pergeseran nilai-nilai dalam
masyarakat yang menyebabkan perbedaan tersebut. Demonstrasi sudah tidak lagi
mendapat respek dari masyarakat karena dianggap sebagai tunggangan politik
beberapa elit tertentu. Pergerakan mahasiswa yang dianggap murni tanpa disadari
ternyata ada kepentingan lain di belakangnya. Demokrasi titipan, begitu stigma
masyarakat terhadap gerakan mahasiswa saat ini. Sedangkan apabila demonstrasi
dilaksanakan murni aspirasi rakyat dan untuk kepentingan mereka, maka banyak
orang akan beranggapan “Apa sih yang mereka dapatkan dari unjuk rasa? Udah
panas, tambah bikin macet jalanan ibukota.”adanya stigma premanisme gerakan mahasiswa,
parlemen jalanan bukan pilihan utama penyampaian aspirasi rakyat.
Kemudian perkembangan budaya hedonisme dan konsumerisme barat
juga mulai menggerus budaya kritis mahasiswa yang biasanya menghasilkan
idealisme-idealisme cemerlang. Mahasiswa lebih sibuk melakukan internalisasi
diri dibandingkan melakukan kajian mengenai isu-isu yang menyangkut
kemaslahatan orang banyak. Arah pergerakan sudah tidak lagi tentang bagaimana
memperjuangkan kepentingan orang banyak, melainkan keuntungan apa yang dapat
mereka peroleh dari situasi tertentu. Hal ini tentu saja menurunkan daya pikir
mahasiswa untuk menyerukan idealisme-idealisme mereka yang terkenal kritis
karena berani melawan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan
masyarakat. Padahal idealisme untuk mempertanyakan benar atau salah itulah yang
harus dijaga dalam pengawalan proses demokrasi di Indonesia.
Berikutnya adalah tidak adanya strategi yang jelas dalam gerakan mahasiswa
itu sendiri. Padahal hal tersebut sangat penting untuk menentukan arah
pergerakan. Dibutuhkan perhitungan-perhitungan yang taktis dan matang untuk
mengiringi idealisme-idealisme para intelektual muda ini. Terlebih sudah bukan
saatnya pergerakan mahasiswa bergantung pada momentum yang sedang memanas
karena hal itu hanya akan membawa gerakan mahasiswa cenderung statis.
Akibatnya, pergerakan menjadi mudah sekali dibaca, dikendalikan dan akhirnya
dimanfaatkan oleh golongan tertentu yang tidak bertanggung jawab.
Sampai detik ini, ada sebuah tuntutan yang harus digulirkan kepada gerakan
mahasiswa itu sendiri, khususnya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Mengenai
bagaimana mengembalikan ruh, dalam hal ini idealisme, kepada para mahasiswa
agar kembali ke ranah pergerakan yang lebih sistematis, kritis dan independen. Pergerakan
mahasiswa hingga saat ini masih bergulir. Namun tentu saja pergerakan tersebut
dilakukan sesuai dengan perkembangan jaman. Dialog dan audiensi dengan
pihak-pihak terkait bisa menjadi jalan tengah dalam pergerakan mahasiswa di
masa sekarang. Tanggung jawab sebagai intelektual untuk menganalisa
permasalahan yang ada serta memberikan solusi terbaik dalam penyelesaiannya
mengingat eksistensi pergerakan mahasiswa di jaman seperti sekarang sangat
bergantung pada hal tersebut. Tanpa adanya beban moral kepada siapapun,
idealisme mahasiswa adalah senjata utama dalam melakukan gerakan.[]
[*] Penulis adalah Ketua PK IMM Dakwah-Ishum
2009-2010 dan Ketua Bidang Hikmah PC IMM Kab. Sleman 2010-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar